Seorang
pemikir, bagaimanapun, tidak dapat dilepaskan dari konteks
sosio-kulturalnya. Hasil-hasil pemikiran, dalam kenyataaannya, tidaklah
lahir dengan sendirinya, tetapi senantiasa mempunyai kaitan historis
dengan pemikiran yang berkembang sebelumnya dan mempunyai hubungan
dengan pemikiran yang ada pada zamannya. Asumsi ini berlaku juga pada Al
Ghazaly. Kaitan historis pemikirannya dengan pemikiran cara
pendahulunya dinyatakan sendiri dalam Al Munqidz Min Al Dhalal dan
diperoleh melalui isyaratnya didalam Tahafut al Falasifat. Untuk
mengetahui hubungan pemikiran Alghazaly dengan pemikiran yang berkembang
pada zamannya, perlu diketahui suasana pemikiran waktu itu dan sikapnya
terhadap kenyataan itu.
Al
Ghazaly hidup ketika pemikiran di dunia Islam berada pada tingkat
perkembangannya yang tinggi. Pemikiran-pemikiran tidak berhenti sebagai
hasil olah budi individual, tetapi berkembang menjadi aliran-aliran
dengan metode dan sistemnya masing-masing. Tingkat perkembangan ini
memperlihatkan wujudnya dalam tingkat keragaman yang tinggi. Al Syahrani
(w.548 H), pemikir yang sejaman dengan Al Ghazaly, menggambar-kan
betapa banyaknya aliran pemikiran di dunia Islam pada waktu itu. Setiap
aliran, menurut Al Ghazaly, mengklaim kebenaran pada dirinya, yang
dengan sendirinya menempatkan aliran yang lain pada kedudukan yang tidak
benar.
Opini
umum ketika itu tentang kebenaran, kelihatannya cenderung bersifat
monolitik, yang sebenarnya mempunyai akar dalam sejarah pemikiran masa
lampau. Opini umum ini di topang oleh pernyataan yang diyakini sebagai
ucapan yang berasal dari nabi Muhammad Saw, yang menggambarkan bahwa
ummat islam akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya
sesat dari kebenaran, kecuali satu golongan. Golongan atau aliran yang
satu inilah yang benar, dan akhirnya symbol untuk itu menjadi ajang
rebutan. Setiap pendukung aliran menganggap bahwa alirannya-lah yang
dimaksud oleh hadist tersebut sebagai aliran yang benar.
Usaha
Al Ghazaly dalam hal ini menjelaskan bahwa Al qur'an telah mengandung
ukuran-ukuran tentang kebenaran, dan manusia telah dianugerahi alat
untuk berpikir, menggunakan ukuran-ukuran tersebut ... adalah untuk
membuktikan bahwa manusia tidak memerlukan imam-imam yang ma'shum lagi
sesudah Nabi, sebagai sumber kebenaran. Kesimpulan tentang bathiniyyat
ialah bahwa sistem pemahaman ini tidak memenuhi harapannya, karena
bathiniyyat mengesampingkan daya manusia untuk menemukan kebenaran.
Disini taqlid menjadi hal yang sangat penting, namun taqlid membawa
kerawanan dan pertentangan.
Pada
ilmu kalam, ia melihat kemandulan metodologi, kalau yang hendak dicari
adalah hakikat-hakikat, sebab ilmu ini tidak dipersiapkan untuk itu.
Pada filsafat, ia melihat ketidaklengkapan metodologi sehingga
melahirkan inkoherensi, sebab filsafat hanya mengandalkan akal semata.
Pada bathiniyyat ia melihat kekeliruan, karena dengan konsep al ta'lim,
peran pengalaman, pengamatan, dan akal manusia sebagai alat-alat
menemukan sendiri kebenaran dengan kitab suci sebagai pedoman,
diabaikan, sehingga pengetahuan tidak diperoleh manusia dengan
sendirinya.
Dalam
tasawuf, cara yang ditempuh untuk menemukan hakikat, menurut Al
Ghazaly, terdiri atas dua tahap, yaitu: ilmu dan amal. Ilmu yang
dimaksud disini adalah pengetahuan tentang kosep dan langkah-langkah
yang harus ditempuh didalam tasawuf, seperti zuhd, faqr, tawakkul,
mahabbat, makrifat, dan sebagainya. Selain itu diharuskan pula
mengetahui syariat, ilmu `aqliyyat dan
keimanan yang kuat terhadap
tiga dasar keimanan. yang dimaksud dengan amal adalah mengalami secara
langsung konsep dan langkah yang harus di lalui tadi. Ilmu dan amal
harus menyatu. Kelihatannya ,ia menganggap bahwa pada sistem pemahaman
lainnya ada keterpisahan antara ilmu dan amal, khususnya pada filsafat
dan ilmu kalam. Kesan ini terlihat pada penyataan Al Ghazaly bahwa para
sufi adalah arbab al ahwal (orang-orang yang memilki pengalaman
langsung) bukan ash hab al aqwal (orang-orang yang hanya berbicara).
Dalam tasawuf pencarian hakikat tidak akan tercapai dengan pengetahuan
saja, tetapi selain itu, harus dengan pengalaman langsung.
Dalam
usahanya memasuki tahap amal, Al ghazaly dihadapkan kepada keharusan
memilih salah satu dari dua kemungkinan : memasuki pengalaman tasawuf
dengan konsekwensi meninggalkan kedudukan dan segala fasilitas kehidupan
yang telah dimiliki, atau mempertahankan kedudukan dan fasilitas
tersebut dengan konsekwensi tidak memasuki pengalaman tasawuf. Menurut
pengakuannya, ia mengalami kesulitan bahkan tidak dapat menentukan
pilihan, sehingga ia menderita sakit selama enam bulan. Penyelesaian
yang ditempuh dalam hal ini, sama dengan penyelesaian yang dilakukan
ketika ia mengalami puncak kesangsian sebelumnya, yaitu pasrah dan
mengakui kelemahannya. Jalan keluar datang dengan sedirinya. Tuhan
memberi kemudahan
kepadanya untuk memilih kemudahan kepadanya,
untuk memilih jalan tasawuf dan meninggalkan kedudukan dan fasilitas
kehidupan yang dimilikinya. Iapun mengembara dengan cara hidup sufi
selama lebih kurang sepuluh tahun, dari tahun 489 H sampai dengan tahun
499 H. Menurut pengakuannya, ... dalam pengalaman tasawuf itu, ia
memperoleh secara langsung (Al kasyf) ilmu-ilmu yang tidak terhingga,
meskipun ia tidak menunjukkan secara tegas ilmu yang diperoleh itu.
Kesimpulannya, dengan cara tasawuflah pengalaman secara langsung tentang
hakikat itu dapat dicapai. Sufilah yang lebih dekat kepada tuhan,
akhlak merekalah yang lebih bersih, cara hidup merekalah yang lebih
benar, gerak dan diam mereka lahir dari jiwa yang disinari nur al
nubuwat.
Ketika
ia menguji tasawuf, pada dasarnya ia tidak menghadapi persoalan tentang
validitas sumber pengetahuan yang digunakan tasawuf, sebab sebelumnya
ia telah yakin adanya intuisi (al dzauwq) sebagai sumber pengetahuan
diatas akal. Yang menjadi persoalan adalah menyelesaikan konflik bathin
antara memasuki pengalaman tasawuf dan mempertahankan kedudukan dan
fasilitas kehidupan duniawinya. Yang menarik perhatian dari proses
pencariannya adalah bahwa, ia kelihatannya mempunyai sikap dasar yang
tetap, yaitu memandang segala sesuatu senantiasa dalam hubungannya
dengan tuhan. Ketika ia mengalami puncak kesangsian akibat ketidak
mampuannya membuktikan wujud sumber pengetahuan diatas akal, setelah ia
meragukan indera dan akal, penyelesaian yang di tempuh nya adalah
mengakui kelemahannya dan pasrah kepada Tuhan ….
Situasi
ini juga pernah dialami Nabi Yusuf ketika nafsunya sudah mulai goyah
oleh rayuan dan kecantikan wajah Siti Zulaiha, beliau mengakui ketidak
mampuannya menerima godaan nafsunya " ('innan nafsa lammaratun bissu')
dan situasi yang sangat mencekam bathinnya itu ditulis dalam QS. Yusuf:
24 " sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu)
dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita
itu, andaikata dia tidak melihat burhan dari tuhannya, demikian agar
Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian, sesungguhnya
Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang ihlash (berserah diri)"
Yusuf
terbebas dari konflik bathinnya dikarenakan Allah telah mencabut rasa
nafsunya yang bergejolak ….dia mengaku tidak kuat melawan nafsunya
kemudian ia berserah diri kepada Allah. Saat itulah tuhan memberikan
ilmu kasyaf berupa burhan (hidayah) sehingga sifat keji dan mungkar
lenyap dalam hatinya. Bukan karena usaha mencegah dari perbuatan itu …
akan tetapi karena
tuntunan dan inayah dari Allah Swt.
Ihya'
`ulumuddin , merupakan rangkaian pengalaman bathinnya Al Ghazaly, bukan
hasil dari pemikiran dan gagasannya, oleh karena itu kita tidak bisa
melakukan amalan seperti yang di tulis Al Ghazali kecuali turut memasuki
jalan rohani secara benar, … apalagi hanya diseminarkan dan menjadi
kajian-kajian ditempat-tempat mewah …
Seperti
apa yang pernah saya sajikan pada setiap artikel, ialah menempuh jalan
spiritual dengan sangat sederhana dan ikhlash. Kalau jalan ini ditempuh
dengan rela maka semua yang tercantum dalam ajaran islam sedikit demi
sedikit akan memasuki dunia bathin kita, … dan tuntunan itu akan terus
mengalir, seperti : kesabaran ketawakalan, kekhusyu'an, dan keimanan
yang sangat kuat.
Ternyata
Alghazaly membuktikan sendiri, bahwa memang Allah-lah yang mampu
mencabut kekejian dan kemungkaran didalam hati manusia (kalian tidak
akan pernah bersih selama-lamanya, akan tetapi Allah-lah yang akan
membersihkan hatimu dari pebuatan keji dan mungkar. (Lihat QS Maryam;
21)
Konsep
Al qur'an ini sebenarnya sangat sederhana ... hanya dengan berserah
diri kepada Allah maka Allah akan membuka hati kita memberikan kefahaman
dengan jalan ilham, yaitu ilham kebaikan, ilham kekhusyu'an, dan ilham
keimanan, serta perbuatan-perbuatan yang baik (demi jiwa ... dan kesempurnaanya..maka Allah mengilhamkan jalan kejahatan dan jalan kebaikan .. QS.Asy syams 7-8).
Sampai kini kita masih mendapat ilham kejahatan karena ..kejahatan dan
kekejian serta ketidak khkusyu'an mengalir dalam bathin kita tanpa ada
yang mampu menghalaunya termasuk kita ... (mudah-mudahan tidak)
Perlu
diketahui bahwa Al Ghazaly sebelum menjadi sufi, adalah seorang guru
besar di universitas Nizamiyah, pemikir, filosof, ahli kalam, ahli fikih
dan ilmu-ilmu yang lainnya, … justru karena ilmu-ilmu itu tidak
memberikan manfaat terhadap bathinnya, maka beliau memutuskan
mempraktekkannya dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya ...
untuk beribadah kepada Allah ... (uzlah ). Setelah berhasil, beliau
menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' ulumuddin …… Al Ghazaly,
pernah melakukan uzlah selama 120 hari … pada saat itulah beliau
mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.
Demikian-lah
kira-kira cerita Al ghazaly, agar menjadi perhatian, bahwa ilmu yang
banyak belum tentu memberikan manfaat jika jiwa belum menggantungkan
secara total hanya kepada Allah…..
Suatu
ketika ada seorang jamaah saya (seorang ustadz yang telah mendalami
ilmu agama di pesantren selama 17 tahun dan di LIPIA, Salemba),
menghubungi saya melalui telepon mengabarkan putrinya sakit keras …
sekaligus minta tolong untuk di do'akan agar sakitnya menjadi
sembuh…kelihatannya ia panik dan cemas …saya hanya berkata singkat :
"jauh mana antara jarak anda kerumah saya dengan Allah yang maha dekat
lagi maha penyembuh ?" ….dia tampak terkejut dengan jawaban saya …
kemudian dia sadar …dan tidak berselang lama sekitar dua jam … dia
telepon lagi untuk mengabarkan bahwa anaknya sudah sembuh dari sakitnya …
Rupanya ia mengadu kepada Allah atas sakit anaknya tersebut ia berdo'a
sendiri dengan serius … dan Allah menjawab do'anya.
Demikianlah contoh bahwa agama itu bukan disandang untuk aksi akan tetapi untuk diamalkan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar