Senin, 10 Maret 2014

perkembangan islam periode klasik (650M-1250M)

PENDAHULUAN
Sejarah berjalan dari masa lalu, ke masa kini, dan melanjutkan perjalanannya ke masa depan. Dalam perjalanan sesuatu unit sejarah selalu mengalami pasang naik dan pasang surut dalam interval yang berbeda-beda. Di samping itu, mempelajari sejarah yang sudah berjalan cukup panjang akan mengalami kesulitan jika tidak dibagi ke dalam beberapa babakan di mana setiap babakan merupakan satu komponen yang mempunyai ciri-ciri khusus dan merupakan satu kebulatan untuk satu jangka waktu.
Perkembangan islam periode klasik yang terbentang dari tahun 650-1250 M merupakan masa perluasan, integrasi dan keemasan Islam. Perode ini sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai dihanguskannya Baghdad oleh Hulagu Khan.
Adapun yang menjadi ciri pada periode ini, dengan mengabaikan adanya dinasti-dinasti yang tumbuh dan tenggelam di masa Dinasti Abbasiyah, kepala negara (khalifah) tetap dijabat oleh seorang dan dianggap sebagai pimpinan tertinggi negara walaupun hanya sekedar simbol.  Dinasti Umayyah barat walaupun tidak mengakui kedaulatan pemerintahan Abbasiyah, namun mereka tidak pernah mengklaim diri sebagai khalifah.

PEMBAHASAN
A.      Perkembangan islam periode islam klasik
Perkembangan islam pada periode klasik terlentang dari tahun (650-1250)
Perkembangan pada Islam periode klasik dibagi menjadi dua masa yaitu :
a.    Masa kemajuan Islam I (650-1000)
Merupakan masa perluasan, integrasi dan keemasan Islam , merentang dari sejak kelahiran Nabi Muhammad SAW sampai dihanguskannya Baghdad oleh Hulagu Khan. Masa ini mencakup Masa Nabi Muhammad SAW, masa Khulafaur Rasyidin, Masa Dinasti Umayah Timur atau Umayah Damaskus, masa Dinasti Abasiyah.
b.      masa disintegdrasi (1000-1250)

Dalam makalah ini akan kami bahas peristiwa-peristiwa penting sejak mulai  masa nabi Muhammad SAW sampai masa Dinasti Abasiyah sebagai berikut :
1. Masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin
Pada waktu islam diturunkan, bangsa Arab dikenal dengan sebutan kaum jahili. kaum Quraisy Mekkah sebagai bangsawan di kalangan bangsa arab hanya memiliki 17 orang yang pandai baca tulis. suku Aus dan Khazraj (penduduk yatsrib madinah) hanya memiliki 11 orang yang pandai membaca. 1.hal ini menyebabkan bangsa Arab sedikit sekali mengenal ilmu pengetahuan dan kepandaian lain.
Dalam masalah ilmu pengetahuan, perhatian Rasulullah Muhammad SAW sangat besar. Beliau memberi contoh revolusioner bagaimana seharusnya mengembangkan ilmu. Hal-hal yang men jadi landasan Rasulullah SAW mengembangkan ilmu :
  • Wahyu pertama yang diterima rasul adalah Iqra’
  • Bangsa arab adalah bangsa yang kuat hafalannya
  • Nabi membuat tradisi baru yaitu mencatat dan menuli
  • Al-Qur’an merupakan sumber inti ilmu pengetahuan.
Berdasarkan landasan tersebut itu, Rasulullah SAW mulai membangun  jiwa ummat Islam. Rasul membimbing sahabat-sahabat untuk beriman dan berilmu. Mula-mula rumah Rasulullah SAW sendiri yang digunakan sebagai tempat pertemuan kemudian rasul membuat satu tempat pertemuan di rumah sahabat arqam bin Abil Arqam, di luar kota Mekah. Tempat itu terkenal dengan nama Dar al arqam. di situlah lembaga pendidikan pertama yang didirikan Rasulullah SAW. di tempat itu pulalah,  konon Rasul menyuruh sahabat untuk membuat huruf. Dalam satu riwayat, sahabat Ali bin thalib disuruh membuat huruf dengan mengambil contoh dari huruf bangsa Himyar. mulai usaha itu umat islam sudah mengarah kepada kepandaian tulis baca.
Dengan bimbingan nabi dan pengaruh Al-Qur’an telah lahir orang-orang pandai. Sahabat dekat Nabi banyak menjadi terkenal karena kemampuannya Umar bin Khaththab, Ali bin Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Ibnu Abbas. Umar bin Khaththab mempunyai keahlian menentukan hukum, sangat jenius dalam menata lembaga pemerintahan, cerdik dalam mengatur negara. sedangkan Ali bin Abi Thalib mempunyai keahlian dalam bidang hukum. sepeninggal Rasulullah kepemimpinan islam dilanjutkan oleh khulafaur rasyidin. di antara khulafaur rasyidin yang membangun peradaban islam adalah Umar bin Khaththab, beliau melakukan ijtihad dalam menghadapi masalah-masalah baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah antara lain :
  • Menetapkan hukum tentang masalah-masalah yang baru, seperti dalam menetapkan ghanimah, masalah potong tangan pencuri, mengawini ahli kitab, cerai tiga kaliyang diucapkan sekaligus, muallaf qulubuhum, dll.
  • Memperbarui organisasi negara, seperti disusunnya organisasi politik (al-khilafat, al-wizarat, al-kitabat), administrasi negara (departemen-departemen),
2. Daulah Umayah
Dengan meninggalnya khalifah Ali bin Abi Thalib, maka bentuk pemerintahan kekhalifahan telah berakhirlah dan islam mengalami perubahaan dengan dilanjutkan bentuk pemerintahan dinasti kerajaan yaitu dinasti bani umayyah dan bani abbasiyah.
Dinasti umayyah didirikan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan bin Harb bin Umayyah. Muawiyah dapat mendirikan kekuasaannya bukan atas dasar demokrasi yang berdasarkan atas hasil pilihan umat islam .Berdirinya dinasti umayyah bukan juga hasil dari musyawarah , jabatan raja menjadi pusaka yang diwariskan secara turun menurun yaitu sistem monarkhi.
Dinasti umayyah berdiri selama 90 tahun (40-132H/661-750M) dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya.pada dinasti ini banyak kemajuan ,perkembangan dan perluasan daerah yang dicapai terlebih pada masa pemerintahan khalifah Walid bin Abdul Malik (86-96H/ 705-715M).Pada masa awal pemerintahann muawiyah bin Abi Sufyan ada usaha perluasan wilayah kekuasaan ke berbagai wilayah seperti ke india dengan mengutus muhalllab bin Abu Sufrah dan usaha perluasan ke barat ke darah Bizantium di bawah pimpinan Yazid bin Muawiyah selain itu juga diadakan peluasan wilayah Afrika Utara.
Dalam upaya perluasan daerah kekuasaan islam pada masa Muawiyah beliau selalu mengerahkan segala kekuatan yang dimilkinya untuk merebut pusat-pusat kekuasaan diluar  jazirah  Arabia di antaranya upaya untuk menguasai kota Konstantinovel. Paling tidak ada 3 hal yang menyebabkan Muawiyah bin Abi Sufyan terus berusaha merebut Bizantium:1.
  • Bizantium merupakan basis kekuatan agama Kristen ortodoks yang pengaruhnya dapat membahayakan islam
  • Orang-orang Bizantium sering mengadakan pemberontakan ke daerah islam
  • Bizantium termasuk wilayah yang mempunyai kekayaan melimpah

Meskipun keadaan dalam negeri dapat diatasi pada beberapa periode akan tetapi pada masa–masa tertentu sering kali dapat membahayakan keadaan pemerintahan itu sendiri.ketika pemerintahan berada di tangan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (6586H/685-705M) keadaan dalam negeri boleh di bilang teratasi dengan keadaan seperti itu, kemajuan peradaban dapat dicapai terutama dalam politik kekuasaan.
Khalifah Walid bin abdul malik berusaha memperluas daerahnya menuju Afrika utara yaitu Magrib Al-aqsha dan Andalusia .Dengan keinginan yang kuat dan keberanian, Musa bin Nusair dapat menguasai wilayah tersebut sehingga ia diangkat sebagai gubernur untuk wilayah Afrika utara.
Ketika ia menjabat sebagai gubernur afrika utara ia dapat menaklukan beberapa suku yang terus mengadakan pemberontakan di daerahnya itu. Sehingga dengan demikian ia leluasa  memperluas wilayah kekuasaan islam ke daerah lainnya di seberang lautan. Untuk tugas itu Musa bin nusair mengutus Tharif bin Malik mengintai keadaan Andalusia di bantu oleh Julian. Keberhasilan ekspedisi awal ini, membuka peluang bagi musa bin nusair melakukan langkah berikutnya dengan mengirim Thariq bin Ziyad menyeberangi  lautan  guna merebut daerah Andalusia .Tepat pada tahun 711 M ,Thariq mendarat di sebuat selat yang kini selat tersebut diberi nama  yakni Selat Jabal Thariq atau Selat Gibraltar. Keberhasilan Thariq memasuki wilayah Andalusia membuat perjalan baru bagi kekuasan islam.
Dimasa itu ilmu dan kebudayaan islam berkembang dengan baik di antaranya kebudayaan (seni sastra, seni rupa, seni suara, seni bangunan,seni ukir dan sebagainya), dan bidang ilmu ( ilmu kedokteran, ilmu filsafat, astronomi, ilmu bumi dan lainnya)
2.Dalam sejarahnya, perjalan dinasti Umayyah mengalami kemunduran pada masa pemerintahan Walid bin Yazid (125-126 H / 743-744 M) bahkan akhirnya kekuasaan  Bani umayyah mengalami kehancuran ketika diserang oleh gerakan Bani abbasiyah  pada tahun 132H/ 750 M
3. Daulah Abbasiyah
Daulah bani Abbas adalah sebuah negara yang melanjutkan kekuasaan daulat bani Umayyah.  Dinamakan daulat Bani Abbas karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah al Saffah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin al Abbas.  Kekuasaan berlangsung dalam waktu rantang yang panjang, dari tahun 132 – 656 H/ 750-1258 M.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode :
  • Periode pertama ( 132 H/750 M – 232 H/847 M ), disebut periode pengaruh Persia pertama.
  • Periode kedua ( 232 H/847 M – 334 H/945 M ), disebut masa pengaruh Turki pertama.
  • Periode ketiga ( 334 H/945 M- 447 H- 1055 M ), masa kekuasaa dinasti Buwaih dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
  • Periode keempat ( 447 H/1055 M- 590 H/1194 M ), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khalifah abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
  • Periode kelima ( 590 H/1194 M- 656 H/1258 M ), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.
Pada periode pertama, pemerintahan bani abbas mencapai masa keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat  dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran, masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan imu pengetahuan dalam Islam. Namun, setelah periode ini berakhir, pemerintahan bani Abbas mulai menurun dalan bidang politik, meskipn filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al Abbas, pendiri dinasti ini, sangat singkat, yaitu dari tahun 750-754 M. Karena itu pembina sebenarnya dari daulat Abbasiyah adalah Abu Ja’far Al Mansur ( 754-775 M). Puncak keemasan dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu Al Mahdi ( 775-785 M), Al Hadi ( 775- 786 M), Harun Al rasyid ( 786-809 M ), Al Ma’mun ( 813- 833 M), Al Mu’tashim ( 833-842 M ),  Al Wasiq ( 842-847 M ), dan Al Mutawakkil ( 847-861 M ).
Perbedaan antara daulat Umayyah dan daulah Abbasiyah :
1)        Umayyah  masih mempertahankan dan mengagungkan keAraban murni, baik khalifah atau pegawai dan rakyatnya. Abbasiyah tidak seketat itu lagi, hanya khalifah yang dari arab sehingga istilah mawali lenyap, bahkan para menteri, gubernur, panglima dan pegawai diangkat dari mawali, terutama keturunan Persia.
2)        Ibu kota Umayyah, Damaskus bercorak adat jahiliyah yang ditaburi oleh kemegahan Byzantium dan Persia. Sedangkan ibu kota Abbasiyah, Bagdad sudah bercelup Persia secara keseluruhan dan dijadikan kota internasional.
3)        Umayyah bukan keluarga nabi, sedangkan Abbasiyah mendasarkan kekhalifahan pada keluarga nabi ( Abbas adalah paman Nabi).
4)        Kebudayaan Umayyah masih bercorak Arab jahiliyah dengan kemegahan bersyair dan berkisah. Sedangkan kebudayaan Abbasiyah membuka pintu terhadap semua kebudayaan Abbasiyah membuka pintu terhadap semua kebudayaan yang maju sehingga berasimilasilah kebudayaan Arab, persia, Yunani dan Hindu.
5)        Khalifah Umayyah gemar kepada syair dan kasidah sedangkan khalifah Abbasiyah gemar ilmu pengetahuan.
B.  Tokoh-tokoh yang berprestasi dalam perkembangan islam periode klasik
Tokoh yang berperan dalam perkembangan Ilmu pengetahuan  pada masa Umayah
Perkembangan Organisasi Negara dan Susunan Pemerintahan
Organisasi Negara pada masa Daulah Umayah masih seperti pada masa permulaan Islam, yaitu terdiri dari lima badan:
  1. An Nidhamus Siyasi (organisasi politik)
Dalam bidang organisasi politik ini, telah mengalami beberapa perubahan dibandingkan dengan masa permulaan islam, terutama telah terjadi perubahan yang sangat prinsip di antaranya :
Khilafah
Perebutan kekuasaan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam peraturan Syura yang menjadi dasarnya pemilihan Khulafaur Rasyidin
Dengan demikian jabatan khilafah beralih ke tangan raja satu keluarga, yang memerintah dengan kekuatan pedang, politik dan diplomasi. Penyelewengan semakin jauh setelah Muawiyah mengangkat anaknya Yazid menjadi putra mahkota (waliyul ahdi).
Al-Kitabah
seperti halnya pada masa permulaan islam, maka dalam masa daulah Umayah dibentuk semacam dewan sekretariat negara (Diwaanul kitabah) untuk mengurus berbagai urusan pemerintahan. karena dalam masa ini urusan pemerintahan telah menjadi lebih banyak, maka ditetapkan 5 rang sekretaris yaitu :
  1. Katib Ar-Rasail                 (sekretaris urusan persuratan)
  2. Katib al-Kharraj                (sekretaris urusan kuangan / pajak)
  3. Katib al-Jund                     (sekretaris urusan ketentaraan)
  4. Katib asy-Syurthah           (sekretasis urusan kepolisian)
  5. Katib al-Qadhi                  (sekretasis urusan kehakiman)
Al-Hijabah
Dalam masa daulah Umayah diadakan satu jabatan baru yang bernama a-lhijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khilafah. mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah danAmr bin Ash, maka diadakanlah penjagaan yang ketat sekali, sehingga siapapun tidak dapat menghadap sebelum mendapat ijin dari pengawal (hujjab)
  1. An Nidhamul Idari (organisasi tata usaha Negara)
seperti telah diterangkan, bahwa organisasi tata usaha negara pada permulaan islam sangat sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus, demikian juga pada masa dinasti Umayah. organisasi tata usaha negara pada masa ini terdiri dari :
Ad Dawaawin
untuk mengurus tata usaha pemerintahan, maka Daulah Umayah mengadakan empat buah dewan yaitu : Diwanul Kharraj, Diwanur Rasail, Diwanul Musytaghilat al-Mutanauwi’ah dan Diwanul Khatim
Al-Imarah Alal Buldan
Daulah Umayah membagi daerah Mamlakah Islamiyah kepada lima wilayah besar, yaitu :
  1. Hijaz, yaman, Nejed (pedalaman Jzairah Arab)
  2. Irak, Persia, Aman, Khurasan
  3. Mesir, Sudan
  4. Armenia, Azerbaijan, dan Asia kecil
  5. Afrika Utara, Libya, Andalusia, Sicilia
untuk tiap wilayah besar ini, diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal), yang dibawahnya ada beberapa orang Amir (gubernur) yang mengepalai satu wilayah.
Barid
Organisasi pos diadakan dalam tata usaha negara islam semenjak Muawiyah memegang jabatan khalifah. Setelah khalifah Abdul Malik bin Marwan berkuasa maka diadakan perbaikan dalam organisasi pos.
Syurthah
Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan terus pada masa dinasti Umayah bahkan disempurnakan. Pada mulanya organisasi kepolisian menjadi bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, dan kepalanya sebagai pelaksana al-hudud. tak lama kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri sendiri dengan tugas mengawasi kejahatan.

  1. An Nidhamul Mali (organisasi keuangan atau ekonomi)
Sumber uang masuk pada masa daulah Umayah umumnya sama seperti di zaman permulaan islam, di antaranya : Al-Dharaaib merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara. Masharif Baitil Mal
  1. An Nidhamul Harbi (organisasi pertahanan)
oganisasi pertahanan pada masa daulah umayah sama seperti pada masa khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. bedanya kalau pada masa khulafaur Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, maka pada masa daulah umayah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan nidhamut tajnidil ijbary (seperti undang-undang wajib militer)
Angkatan laut
pada masa khalifah Usman telah dimulai dibangun angkatan laut islam tetapi sangat sederhana. setelah muawiyah memegang kendali negara islam, maka dibangunlah armada islam yang kuat dengan tujuan : (1) untuk mempertahankan daerah-daerah islam dari serangan armada Romawi dan (2) untuk memperluas dakwah islamiyah.
muawiyah membentuk  armada musim panas dan armada musim dingin
  1. An Nidhamul Qadhai (organisasi kehakiman)

2. Tokoh yang berperan dalam perkembangan Ilmu pengetahuan  pada masa Abbasiyah
Abad X masehi disebut abad pembangunan daulah Islamiyah di mana dunia Islam, mulai dan Cordove di Spanyol sampai ke Multan di pakistan, mengalami pembangunan di segala bidang, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
  1. Ilmu Naqli
Ilmu naqli adalah ilmu yang bersumber dari naqli (Al Qur’an dan hadits), yaitu ilmu yang berhubungan dengan agama islam. Ilmu-ilmu itu antara lain:
  1. Ilmu Tafsir
Cara penafsiran ilmu tafsir ada dua macam :
1)        Tafsir bil ma’tsur, yaitu menafsirkan Al Qur’an dengan hadits nabi. Mufasir golongan ini adalah :
a)        Ibn Jarir at thabary dengan tafsirnya sebanyak 30 juz
b)        Ibn Athiyah al andalusi (Abu muhamad bin Athiyah) 481-546 H.
c)        As-Suda yang mendasarkan penafsirannya pada Ibn Abbas, ibn mas’ud, dan para sahabat lainnya (wafat 127 H ).
2)        Tafsir bir Ra’yi, yaitu menafsirkan Al qur’an dengan mempergunakan akal dengan memperluas pemahaman yang terkandung didalamnya mufasir golongan ini yang termasyhur :
a)        Abu Bakar Asma(Mu’tazilah0 wafat 240 H.
b)        Abu Muslim Muhamad bin nashr al Isfahany (Mu’tazilah) wafat 322 H.
c)        Ibnu Jaru al asady (mu’tazilah),wafat 387 H. Beliau menafsirkan Bismillah 120 macam.
d)       Abu Yunus Abus Salam al Qazwany (w.483 H), beliau menafsirkan al Fatihah 7 jilid.
  1. Ilmu hadits
Hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al qur’an. Usaha pelestarian dan pengembangannya terjadi pada dua periode besar; masa mutaqaddimin dan masa Mutaakhirin.
Usaha masa Mutaqaddimin dapat dibagi melalui :
1)        Masa turunnya wahyu
Pada masa Rasulullah, para sahabat menerima hadits dari rasul secara lisan, kemudian disebarluaskan tidak dengan tulisan. Selain masih jarang orang yang dapat menulis, pada masa permulaan rasul masih mengkhawatirkan tercampur antara al qur’an dan Hadits. Namun sesudah kekhawatiran Rasul itu hilang dan para sahabat telah memahami dan mendalami serta menghafal ayat Al qur’a maka rasul membolehkan menulis hadits seperti dibolehkannya Abdullah bin Amr.
2)             Masa khulafaur rasyidin (12-40H)
Pada masa sesudah rasul wafat, sahabat tidak lagi berpusat di Madinah tetapi pergi ke kota lain menyampaikan ajaran Islam, termasuk hadits, sehingga periwayatan hadits mulai berkembang di kalangan tabi’in.  Di antara sahabat pembawa hadits ialah Aisyah, Abu Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin abbas, anas bin malik, abdullah bin Amr bin Ash.
3)        Masa sahabat kecil dan tabi’in  (40 H-akhir abad 1 H)
Makin meluasnya kekuasaan Islam pada masa Khulafaur rasyidin menyebabkan perlawatan para sahabat ke kota lain. Di kota yang baru itu berkerumunlah orang arab dan Ajam untuk mengambil ilmu dari para sahabat dan menghasilkan ilmuwan di kalangan tabi’in. Pertemuan menghasilkan perbedaan pendapat yang membawa pertentang golongan. Masing-masing golongan berusaha untuk menguatkan hujjah atau polotiknya dengan hadits dan kalau tidak ada dari rasu, mereka tidak segan-segan untuk membuatnya-buatnya.  Karena keadaan seperti ini telah mendorong para sarjana musli untuk mempelajari hadits dengan teliti agar bisa dibedakan mana yang shahih da mana yang palsu. Penelitian terhadap rangkaian perawi (sanad-isnad), melahirkan ilmu Rijalul Hadits. Dalam ilmu itu dipelajari masing-masing perawi hadits sehingga dapat diketahui mana yang jujur dan mana yang pembohong.
4)        Masa pembukuan hadits  (awal-akhir abad II H)
Kalau masa Rasul, sahabat dan tabi’in periwayatan hadits masih mendasarkan pada kekuatan hafalan, maka makin langkanya sahabta karena banyak yang wafat dan makin banyaknya musuh-musuh islam yang ingin merusak Islam dari dalam menggerakkan khalifah Umar bin Abdul Aziz (w.110 H) unutk membukukan hadits. Para ulama abad II ini membukukan hadits dengan cara keseluruhan tanpa penyaringan baik yang datang dari nabi, dan sahabat, atau tabi’in sehingga dalam kitab-kitab susunan ulama pada abad ini terdpat hadits-hadits yang marfu’, mauquf dan maqtu’. Diantara kitab yang masyhur dalam abad II ini adalah kitab Al Muwatta susunan imam Malik (w.179). kitab Musnad susunan Al Syafi’i (w.204H0,  Musnad Abu Hanifah (w. 150 H), dan al Jami susunan Imam Abdu al Razaq bin Hammam (w. 211 H).
5)        Masa Pentashihan dan penyaringan hadits (awal-akhir abad III)
Masa penulisan hadits ini mempergunakan cara menyusun dan menulis hadits yang datang dari Rasul saja namun terasa masih ada kekurangannya karena hadits yang disusun dengan cara ini masih tercampur antara hadits yang shahih, hasan dan dloif. Maka bangkitlah para ulama untuk memisahkan hadits yang shahih dari hadits yang tidak shahih, serta memisahkan hadits yang kuat dari yang lemah. Yang mula-mula menulis hadits dengan menyaring hadits yang shahih adalah imam al Bukhary (w.256 H) yang hasilnya terkenal dengan kitab Al Jami’as Shahih, diikuti oleh muridnya yaitu Imam Muslim 9w.261) dengan kitabnya Shahih Muslim.  Sesudah itu tampil beberapa iam menyaring haidts-hadits yang belum disaring oleh kedua imam tadi, Abu Daud (w.275 H), At Turmudzy (w.279 H), An-Nasai (w.303H), Ibnu Majah (w.273 h)., yang masing-masing kitabnya disebut Sunan. Sesudah itu datang Imam Ahmad bin Hambal (w.241 H) kitabnya disebut Musnad.
Usaha mutaakhirin dibagi beberapa tahap yang masing-masing mempunyai ciri sendiri baik mengenai sistemnya maupun penyusunanya.
1)        Abad keempat hijriyah
Masa ini ulama mempergunakan sistem istidrak dan istikhraj
Sistem Istidrak adalah mengunpulkan hadits yang diriwayatkan oleh Al bukhari dan Muslim atau tidak oleh salah satu dari keduanya tetapi memnuhi syarat-syarat yang diperguanakan oleh Al Bukhari dan Muslim atau salah seorang dari keduanya. Kitab- kitab Istidrak disebut Mustadrak, misalnya tiga mu’jam susunan Imam Sulaiman bin Ahmad at tabani (w. 360H), Mustadrak susunan al hakim Naisaburi (w. 405 H), Shahih bin huzaimah (w.311H), Mustadark at taqsimwa al Anwa susunan Abi hakim Muhammad bin Hiban (w.354 H) dan lain-lain.
Sedangkan istikhraj adalah mengambil hadits dari Al Bukhari atau Muslim umpamanya, lalu meriwayatkan dengan cara ssendiri, bukan dari sand al Bukhari atau Muslim. Di antara kitab-kitab mustakhraj adalah Mustakhraj Sahih Al Bukhari karangan al hafidz Abu bakar al Barqini (w. 425), Mustakhraj Al Bukhari oleh Al hafidz Ibnu margawaih (w.416H) dan lain-lain.
2)        Abad kelima sampai abad ketujuh
Para ulama hanya berusaha memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan hadits Al Bukhari dan Muslim dalam satu kitab, mempermudah jalan pengambilannya, mengumpulkan haidts hukum dalam satu kitab, mengumpulkan hadits targhib dan tarhib dalam satu kitab, memberikan syarah terhadap susunan hadits yang ada, yang menyusun kitab Atraf dan lain-lain.
  1. Ilmu Kalam
Di antara pelopor dan ahli ilmu kalam yang terbesar yaitu washil bin Atho, Abu Huzail al Allaf, Abu Hasan al Asyari, dan Imam Ghazali.
  1. Ilmu Tasawuf
Inti ajarannya tekun beriabdah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah, meninggalkan kesenangan dan perhiasan dunia, serta bersunyi diri beribadah. Dalam sejarah sebelum timbul aliran tasawuf terlebih dahulu muncul aliran zuhud.aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II. Zahid-zahid yang terkenal di sini ialah Sufyan Al Tsauri (w.135 H),  Hasan Al Bashri (w.110H) dan rabiah Al adawiyah (w.185 H), Ibrahim bin Adham (w.162H), Syafiq Al balkhi (w. 194 H), Ja’far al Sadiq (w. 148 H).
Bersamaan dengan lahirnya ilmu Tasawuf muncul pula ahli-ahli dan ulama-ulamanya, antara lain adalah:
1)             Al Qusyairy (w.465H), kitab beliau yang terkenal adalah al Risalahul Qusyairiyah.
2)        Syahabuddin (w. 632H), kitab karangannya adalah Awariffu ma’arif.
3)        Imam al Ghazali (w. 502H), kitab karanganyya Ihya ulumuddin, al Basith, maqasidul Falsafah, jawahirul Qur’an dan lain-lain.
  1. Ilmu Bahasa
Yang dimaksud dengan ilmu bahasa adalah nahwu, sharaf ma’ani, bayan, bad’i, arudh, qamus dan insya. Di antara ulama-ulama yang termasyhur dalam masa ini :
1)             Sibawaihi, wafat 153 H.
2)             Muaz al Harro (w. 187 H),yang mula-mula membuat tashrif.
3)             Al kasai (w.190 H)mengarang kitab tata bahasa.
4)             Abu Usman al Maziny (w. 249H), karangannya banyak tentang nahwu.
  1. Ilmu Fiqih
Para fuqaha yang lahir zaman ini terbagi dalam dua aliran:
1)        Ahli hadits adalah aliran yang mengarang fiqih berdasarkan hadits. Pemuka aliran ini adalah Imam Malik dengan pengikut-pengikutnya, pengikut Imam Syafi’i, pengikut Sufyan, dan pengikut Imam Hambali.
2)        Ahli ra’yi adalah aliran yang mempergunakan akal dan pikiran dalam menggali hukum. Pemuka aliran ini ialah abu hanifah dan teman-temannya fuqaha dari irak.
Para Imam fuqaha ialah :
1)      Imam Abu Hanifah  yaitu nu’man bin Tsabit bin zauthi, dilahirkan di Kufah  tahun 80 H.
2)      Imam Malik, yaitu malik bin anas bin malik bin Abi Amir, dilahirkan di Madinah tahun 93 H
3)      Imam Syafi’i, yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Usman bin syafi’i dilahirkan di Khaza provinsi askalan.
4)      Imam Ahmad, yaitu Ahmad bin hambal bin hilal Az Zahliy asy-Syaibany, lahir 164 H.
  1. Perkembangan Ilmu Aqli
Ilmu Aqli adalah ilmu yang didasarkan kepada pemikiran (rasio). Ilmu yang tergolong ilmu ini kebanyakan dikenal ummat Islam berasal dari terjemahan asing: dari yunani, Persia, atau India. Memang dalam Al Qur’an ada dasar-dasar ilmu ini tetapi ummat islam mengenal ilmu ini setelah mempelajarinya dari luar.
  1. Abad Penerjemahan (750-900 H)
Usaha penerjemahan dari bahasa yunani ke bahasa arab sebenarnya sudah dimulai sejak zamam umawiyah, tetapi usaha besar-besaran dimulai sejak khalifah al manshur dari abbasiyah. Pusat pentng tempat terjemahan adalah Yunde sahpur. Meskipun nanti Bagdad menjadi kota besar dan menjadi ibu kota daulah Abbasiyah, namun Yunde Sahpur tetap sebagai kota ilmu pengetahuan pertana dalam islam.
  1. Abad Pembentukan Ilmu Aqli
Bertolak dari buku yang diterjemahkan itu para ahli dikalangan kaum muslimin mengembangkan penelitian dan pemikiran mereka, menguasai semua ilmu dan pemikiran filsafat yang pernah berkembang masa iu serta melakuakan penelitian secara empiris dengan megadakan eksperimen dan pengamatan serta mengembangkan pemikiran spekulatif daalm batas-batas yang tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Semenjak itu mulailah masa pembentukan ilmu-ilmu Islam dalam bidang aqli, yang sering dinamakan abad keemasan yang berlangsung antara 900-1100 Masehi.
Ilmu yang masuk ke dalam ilmu aqli adalah :
1)        Ilmu Kedokteran
Ilmu kedokteran masa ini masih merupakan bagian dari ilmu filsafat dan berkembang bersama-sama ilmu filsafat. Dokter pada masa ini adalah Al Razi dan Bin Sina.
a)    Al Razi (865-925 M) yang terkenal di dunia barat dengan sebutan Rozes. Ia  adalah murid Hunain Bin Ishaq. Sewaktu masih muda Al Razi hidup sebagai dokter kimia selanjutnya sebagai guru dokter medicine. Kitab-kitab karangan tidak kurang dari 200 jilid yang kebanyakan berisi ilmu kedokteran. Sebuah bukunya yang masyhur ialah “al-Hawi”. Buku ini merupakan sari ilmu Yunani, syria dan arab.
b)   Ibn Sina, Abu Ali Husein bin Abdullah bin Sina, lahir di Afsyana, suatu tempat yang terletak di dekat Bukhara di tahun 980 M. Ibn Sina menulis ensiklopedi tentang ilmu kedokteran yang terkenal dengan nama al Qanun fi al Thib. Ilmu ketabiban modern mendapat pelajaran dari Ibnu Sina. Penulis barat yang mnejuluki ‘Bapak Dokter”.
2)                 Ilmu Filsafat
Tokoh-tokoh filsafat :
a)             Al Kindi (796-873 M).
Al Kindi, Abu Yusuf bin Ishaq, berasal dari Kindah di yaman, lahir di Kufah (Irak) tahun 796 M. Di kalangan kaum muslimin, orang yang pertama memberikan pengertian filsafat dan lapangannya. Al Kindi terkenal dengan sebutan ‘Filosuf Arab”. Al Kindi banyak mengarang buku tetapi jumlahnya tidak ada kesepakatan para penulis biografi. Isi karangannya meliputi filsaft, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika dan sebagainya.
b)        Al Farabi
Al Farabi adalah Abu Nashr Muhammad bin Muhammad bin Thankhan, lahir di Farab tahun 257 H/870 M. Al Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada zamannya, serta mengarang buku-buku dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fisika, dan mantik. Al farabi mendapat gelar “Guru Kedua” (al-mu’allimu al-Tsani).
c)        Al Ghazali
Al Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad Al Ghazali, (w. 505 H/1111M).
Dalam sejarah filsafat Islam ia dikenal sebagai orang yang pada mulanya syak terhadap segalanya. Ia syak terhadap ilmu kalam karena terdapat bebrapa aliran yang saling bertentanagn. Sesudah ia mempelajari filsafat, ternyata Al Ghazali juga menemukan argumen-argumen yang bertentanagn dengan ajaran islam. Maka, ia mengarang buku maqasid al Falasifah yang menjelaskan pemikiran-pemikiran filsafat. Karya Al ghazali Ihya Ulumuddin, Tahafut al falasifah dan lain-lain.
d)        Ibn Rusyd
Ibn Rusyd adalah Abu al walid muhammad bin Muhammad bin Rusyd, lahir di Cordova tahun 1126 M. Ibn Rusyd dikatakan orang besar ilmu filsafat. Ia telah membangun eropa dengan pikiran-pikiran Islam dan mengantarkan dunia barat ke pintu gerbang renaisance. Dalam bidang kedokteran terdapat 16 jilid karangannya. Buku itu bernama ‘Kulliyat fi al Thib” (aturan umum kedokteran). Ibn Rusyd juga meninggalkan karangan-karangannya dalam ilmu hukum misalnya Bidayat al Mujtahid.
3)   Ilmu Optik
Dalam ilmu ini yang terkenal namanya adalah Abu Ali al hasan bin al Haytam (965 M). Orang eropa menyebutnya Alhazen. Ia ahli dalam ilmu mata (optik), cahaya, dan warna. Bukunya “kitab al Manazhir”mengenai ilmu cahaaya diterjemahkan ke bahasa latin di masa gerard of Cremona dan disiarkan pada tahun 1572.`
4)        Ilmu Astronomi
Tokoh-tokohnya ;
a)        Al Fazari adalah orang pertama yang mengerjakan astrolobe. Model astrolobe mungkin diambil dari Yunani, jika dilihat dari Arab-nya, Asthurlab. Di sana buku-buku terbitan pertama yang ditulis mengenai astrolobe ini ialah yang ditulis oleh Ali bin Isa al Asthurlabi, hidup di Bagdad dan Damaskus sebelum tahun 830 M.
b)        Al Farghani
Ahli astronomi yang terkemuka lainnya dalam periode adalah Abu al Abbas Ahmad al Farghani (Al Fraganus). Karyanya yang utama adalah “Al Mudkhi Ila ilmi Hayai al Aflal” yang pada tahun 1135 diterjemahkan ke daalm bahasa latin oleh John dari Sevilla dan Gerard dari cremona.
c)        Al Battani (Albateganius).
Ia adalah seorang ahli perbandingan yang terbesar dan penyelidikannya yang tekun. Ia membuktikan tentang kemungkinan gerhana matahari yang berbentuk cincicn, serta berhasil menentukan dengan tepat sekali garis edar matahari.
d)   Al Biruni
Al Biruni (973-1050 M). Ia adalah seorang paling terkemuka di bidang ilmu pasti. Ia menguasai selain bahasa Arab, Sangkrit, Persia juga bahasa-bahasa Hibrew, syria, dan Turki. Pada tahun 1030 M beliau menulis sebuah buku yang berjudul Al qamun al Mas’udi fi al Nujum.
  1. Ilmu Hitung
Tokoh-tokohnya ;
1)                  Al Khawarizmi
Al Khawrizmi penemu Alqarisme (logaritme), dalam ilmu matematika. Ia mampu    menjembatani antara matematika klasik menjadi modren. Ia mengarang buku Hisab Al jar wa al Muqabalah. Ia memperkenalakan ilmu aljabar ke dunia barat dan memperkenalakan angka arab ke dunia barat yang diberi nama Al qarism.
2)                  Umar Al Khayyam
Kalau al Khawarizmi lebih banyak menumpahkan perhatiannya pada quadratic (lipat empat) maka Umar al Khayyam mengutamakan persamman kubik dan persamaan derajat. Dalam dunia islam sarjana yang sejalan dengan Umar al Khayyam diantaranya Sijmi dan Ibn Laith dan al Kuhi.
  1. Ilmu Kimia
Tokoh-tokohnya :
1)             Jabir bin Hayyan
Bapak ilmu kimia ialah jabir bin hayyan yang berkembang di Kufah sekitar 776 M.
2)             Ar Razi
Sarjna lain yang masyhur namanya dalam ilmu kimia adalah Ar- razi, hanya saja dia lebih banyak dikenal dalam lapangan ilmu kedokteran.
3)             Ibnu Baithar (dalam abad 7 H)
Karangannya yang terkenal al Mughni, Mizanut thabib.

  1. Ilmu Tarikh
Masa Abbasiyah banyak melahirkan pengarang dan ahli sejarah di antaranya Al waqidy, Al Ma’udy dan Ibnu  Jarir At Thobari, Ibnu sa’ad, Hisyam al-Kalbi, Ibnu Hisyam, Ibnu Abdil Hikam, Jabir al-balaziry, Muhammad bin Habib, Ibnu Thaifur, Al-Ya’kuby, Al-Mas’udy, Ibnu Nadim, Maskawaih, said al-Andalusy dll
  1. ilmu geografi (Ilmu Bumi)
Dalam ilmu geografi (ilmu bumi) Ibnu Khardazbah yang telah meninggalkan buku geografinya ‘ Al Masalik wa al Mamalik”, dipandang sebagai ahli geografi Islam terdahulu yang menjadi pedoman bagi pelaut yang menjelajahi lautan. Selain itu, Ibnu Haik dengan karyanya Kitabu sifati jaziratil arab, Ibnu Fadlan dengan karyanya Rihlah Ibnu Fadlan, al-Muqaddasi karyanya Ahsanaut Taqasin Fi Ma’rifatil Aqalim, abu Ubaid Al-Bakry dengan karyanga Al-Mu’jam, Syarif Idrisy karyanya Nuzatul Mustaqifi Ikhtiraqil Afaqi

Minggu, 09 Maret 2014

aliran MU'TAZILAH

Aliran Mu’tazilah (Asal-usul, Pandangan, Pendapat dan ajaran Pokok )
Aliran Mu’tazilah
Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah, di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat islam secara dogmatis.
mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya. adapaun hasarat untuk menghancurkan islam dikalangan peneluk islam sendiri,
dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri, sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir, sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir, tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat dari ajaran-ajaran pokok yang berasal darinya, yakni al-ushul al-khamsah. Ajaran ini berisi at-tauhid, al-’adlu, al-wa’du dan al-wa’idu, al-manzilah baina al-manzilataini dan amar ma’ruf nahyi munkar.
dalam hal attauhid (kemahaesaan Tuhan), merupakan jaran dasar terpenting bagi kaum mu’tazilah, bagi mereka, tuhan dikatakan Maha Esa jika ia merupakan dzat yang unik, tiada sesuatupun yang serupa dengan Dia. oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham Antropomorphisme/al-tajassum, yaitu paham yang menggambarkan tuhan menyerupai makhluknya, misalnya Tuhan Bertangan dsb. untuk menghindari paham ini, mu’tazilah melakukan interpretasi metaforis terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang Dzonni : yadullah (Tangan Allah), berarti kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah), Berarti keridhaa-Nya Dsb.
mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa tuhan dapat dilihat dai akhirat nanti (dengan mata kepala). satu satunya sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah sifat qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.
pandangan rasional mu’tazilah.
( Dalam Makalah )
MAKALAH ILMU KALAM TENTANG ALIRAN MU’TAZILAH DALAM PANDANGAN ILMU KALAM
BAB I
PENDAHULUAN
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah… Modernisasi pemikiran. Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak versi.
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]
Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum *mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah bain al-manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan. Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”. (Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. dalam pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
BAB III
KESIMPULAN
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang, bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah. Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.

aliran ASY-'ARIYAH

A. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Pendiri
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan kalam sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Muktazilah.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber lama bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).
Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
•takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna
lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.
Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, sebagaimana yang tersirat dalam ucapan Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlus Sunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena tanpa memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Para Ulama itu menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang yang menyalahi dalam hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat.
Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.
Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.
Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.
Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan bahwa mereka pada mulanya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Ahlus Sunnah sehingga hadits mereka diambil. Dan melihat kepada Ahlul Bi'dah dan hadits mereka tidak di ambil.
Al-Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlus Sunnah itu mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni bukan Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidli.”
Kemudian ketika Jahmiyah mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan Al-Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Ahlus Sunnah. Di mana beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka.
Beliau membantah dan patahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau umumkan serta munculkan As-Sunnah dan beliau menghadang di hadapan Ahlul Bid'ah dan Ahlul Kalam. Sehingga, beliau diberi gelar Imam Ahlus Sunnah.
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa istilah Ahlus Sunnah terkenal di kalangan Ulama Mutaqaddimin (terdahulu) dengan istilah yang berlawanan dengan istilah Ahlul Ahwa' wal Bida' dari kelompok Rafidlah, Jahmiyah, Khawarij, Murji'ah dan lain-lain. Sedangkan Ahlus Sunnah tetap berpegang pada ushul (pokok) yang pernah diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan shahabat radhiyallahu 'anhum.
Dengan demikian, ahlus sunnah wal jamaah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat:
1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar)
dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.
Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna. Pertama,
bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka wajib melazimi jamaah ini dan haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang Ahlus Sunnah melakukan i'tiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah) adalah madzhab yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya. Ini adalah makna penafsiran jamaah dengan Shahabat Ahlul Ilmi wal Hadits, Ijma' atau As-Sawadul A'dzam.
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka. Alangkah sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah firqah yang berada di antara firqah-firqah yang ada, seperti juga kaum muslimin berada di tengah-tengah milah-milah lain. Penisbatan kepadanya, penamaan dengannya dan penggunaan nama ini menunjukkan atas luasnya i'tiqad dan manhaj.
Nama Ahlus Sunnah merupakan perkara yang baik dan boleh serta telah digunakan oleh para ulama salaf. Di antara yang paling banyak menggunakan istilah ini ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tetang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa:
  1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
  1. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.

    Sayangnya, Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kebatilan paham Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’irah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
    Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.
C. PANDANGAN-PANDANGAN ASY’ARIYAH
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
1. Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang
melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada
pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena
diciptakan.
4. Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan
oleh Tuhan.
5. Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan
berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang
konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa
pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebaba tidak
mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus
dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid, melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut.
Arti keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk. Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
Koreksi atas pandangan Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ari. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki al- Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurut al-Baqillani yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Muktazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, seperti pendapat Asy’ari. Menurutnya, manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.
Pengikut Asy’ari lain yang juga menunjukkan penyimpangan adalah Abdul Malik al-Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme al-Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar bila kaifa atau tidak seperti apa pus, sepertidikatakan Asy’ari.
Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam yang beraliran Ahli sunnah wal jamaah ialah Imam Al-Ghazali. Tampaknya paham teologi cenderung kembali pada paham-paham Asy’ari. Al-Ghazali meyakini bahwa:
1. Tuhan mempunyai sifat-sifat qadim yang tidak identik dengan zat Tuhan dan
mempunyai wujud di luar zat.
2. Al-Qur’an bersifat qadim dan tidak diciptakan.
3. Mengenai perbuatan manusia, Tuhanlah yang menciptakan daya dan perbuatan
4. Tuhan dapat dilihat karena tiap-tiap yang mempunyai wujud pasti dapat dilihat.
5. Tuhan tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia,
tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban
yang tak dapat dipikul kepada manusia.
Berkat Al-Ghazali paham Asy’ari dengan sunah wal jamaahnya berhasil berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para khalifah Abasiyah. Sementara itu paham Muktazilah mengalami pasang surut selama masa Daulat Bagdad, tergantung dari kecenderungan paham para khalifah yang berkuasa. Para Ulama yang Berpaham Asy-'ariyah
Di antara para ulama besar dunia yang berpaham akidah ini dan sekaligus juga menjadi tokohnya antara lain:
•Al-Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M)
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Mereka yang berakidah ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah paling dekat di antara yang lain kepada ahlus sunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.