Konsep Jarh dan Ta’dil
Sunnah sebagai sumber hukum Islam, dijustifikasi dengan jelas dari berbagai firman Allah, sabda Nabi dan tradisi khulafa ar-Rasyidin,
sunnah diposisikan sebagai interpretasi firman Allah. Namun, disisi
keurgensiannya hadits sebagai sumber hukum Islam. Hadits atau sunnah
pernah menjadi alat yang paling efektif dalam memecahkan persatuan
kesatuan umat Islam.
Jarh dan Ta’dil sebenarnya berasal dari ilmu rijalil hadits. Tetapi,
karena ilmu ini memiliki ciri dan spesifikasi yang agak unik, maka
ilmu ini berdiri sendiri. Melalui ilmu ini kajian dan penelanjangan
terhadap rawi hadits akan terjadi. Kredibilitas perawi hadits akan
terukur jelas.
a. Pengertian dan Tokoh Pendiri Jarh dan Ta’dil
Lafadz Jarh secara etimologi adalah melukakan badan yang mengeluarkan darah. Apabila dikatakan: Hakim menjarahkan saksi, maka ma’nanya: hakim menolak kesaksian saksi. (Ash-Shidieqy, 1981: 204). Menurut para muhadditsin jarh ialah
sifat seorang rawi yang dapat mencecatkan keadilan dan hafalannya,
menunjukkan atau membayangkan kelemahan seorang rawi. Menjarh atau
mentajrih seorang rawi berarti menyipati rawi tersebut dengan
sifat-sifat yang menyebabkan kelemahan atau tertolak apa yang
diriwayatkannya.(Fathurrahman,(tt): 307)
Sedangkan Ta’dil ialah
menunjukkan atau membayangkan kebaikan atau kelurusan seorang rawi.
Rawi yang dikatakan adil ialah orang yang dapat mengendalikan
sifat-sifat yang menodai agama dan keperwiraannya. Dengan memberikan
sifat-sifat yang terpuji kepada seorang rawi sehingga apa
yangdiriwayatkannya dapat diterima.
Musthafa Al-Siba’I berpendapat bahwa Jarh dan Ta’dil
adalah ilmu hadits yang secara khusus membicarakan tentang sisi
negatif dan positif perawi hadits. Artinya, periwayat hadits dari
masing-masing thobaqat diteliti secara mendetail, apakah perawi itu dapat dipercaya atau tidak (amanah), handal (tsiqat), adil (’adalah), dan tegar (dlabith), atau sebaliknya, sampai di mana perawi itu berbohong, lalai atau pelupa.
Berbeda
dengan pendapat Musthafa, sebagian ahli hadits menyatakan bahwa kritik
sanad hadits pada zaman nabi belum ditemukan. Hai itu dapat difahami,
karen aperiwayat pada dua masa itu disepakati dan termasuk dalam
kategori ’udul (adil). Tapi tidak semua sahabat itu dlabith.
Terlepas dari skursus ini, pada dasarnya diantara nuqad
(kritikus) hadits sepakat bahwa yang dimaksud dengan ilmu kritik
hadits ialah ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib
atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi dengan maksud dan
tujuan yang sama yaitu memurnikan hadits.
b. Tokoh-tokoh pendiri
Secara
empiris, ilmu kritik hadits sudah ada sejak zaman sahabat Nabi. Di
antara para sahabat sudah muncul perlunya menilai seorang perawi hadits.
Namun demikian dalam tataran teoritis ilmiah, kritik hadits tampaknya
baru terlihat pada masa Tabi’in (awal abak ke-2 Hijriyah) sampai abad
ke-3 Hijriyah. Pada abad ke-4 sampai dengan abad ke-9 Hijriyah,
sebenarnya masih juga muncul tokoh-tokoh yang mengembangkan ilmu ini,
namun tingkat kesemarakannya tidak mampu menandingi fase tersebut di
atas. Hal ini dapat terjadi karena terorientasi ilmiah sudah mapan di
abad ke-3 Hijriyah. Karena itu ilmu kritik Hadits dimulai pada abad ke-1
sampai abad ke-3 Hijriyah.
1. Abad pertama Hijriyah
Abad
pertama Hijrriyah telah memunculkan tokoh-tokoh rijalul hadits dari
kalangan sahabat dan sebagian lagi dari kalangan tabi’in. Tokoh sahabat
yang khusus membicarakan ilmu ini diwakili oleh Ibnu Abbas (w. 93 H),
Ubadah Ibnu Shamit (w. 34 H), dan Anas bin Malik (w. 93 H), disusul
oleh tokoh tabi’in seperti Sa’id ibnu Musayyab (w. 93 H).
2. Abad kedua Hijriyah
Penyusun
ilmu Jarh dan Ta’dil pada abad kedua adalah Al-Sya’bi (104 H), Ibnu
Sirrin (110 H), Syu’bah (160 H), dan Imam Malik (179 H). Di antara
ulama yang secara khusus membicaraka dan mempelajari ilmu Jarh dan
Ta’dil adalah: Muammar (153 H), Hisyam Al-Dustuwi (154 H), Al-Auza’i
(156 H), al-Tawri (w. 161 H), Muhammad Ibnu Salamah (w. 167 H), dan
Laits Ibnu Sa’id (w. 175 H). Setelah itu muncul generasi berikutnya
seperti Ibnu Al-Mubarah (181 H), Al-Fazari (w. 185 H). Ibnu Uyayah (w.
197 H), Waqi Ibnu Al-Jarah (w. 197 H), dan setelah itu muncul dua tokoh
yang menjadi standar dalam penilaian hadits yaitu Yahya Ibnu Said
Al-qhatan (189 H) dan abdurrahman Ibnu Mahdi (198 H). Dua nama terkahir
itu adalah tokoh menjadi acuan dalam penilaian terhadap perawi hadits,
apa yang dikatakan kedua tokoh ini dapat diterima oleh tokoh-tokoh
Jarh dan Ta’dil lainnya.
3. Abad ketiga Hijriyah
Penerus
ulama ilmu kritik hadits di abad ketiga adalah sebagai berikut: Yazid
bin Harun (206 H), Abu Dawud Al-Tayali (204 H), Abdul Raziq Ibnu Hammam
(211 H) dan Abu Hasyim Al-Nabi Ibnu Mukhlad (212 H). Setela itu muncul
generasi berikutnya yang mengsistematiskan penyusunan Jarh dan Ta’dil
seperti: Yahya Ibnu Mu’in (w. 233 H), Ahmad Ibnu Hambal (w. 241 H),
Muhammad Ibnu Sa’ad (230 H), Ali Ibnu Al-Maini (234 H), dab kemudian
disusul oleh Bukhari dan Muslim.
c. Objek Penelitian
Objek
yang terpenting dalam penelitian hadits adalah terhadap sejumlah
periwayat yang mentranspormasikan riwayat hadits (kualitas sanad) dan
materi hadits (matan hadits).
Kritik
sanad adalah mempelajari rangkaian periwayatan hadits dengan cara
mengetahui biografi masing-masing perawi, dipelajari juga tingkat
kekuatan dan kelemahan perawi dalam mengingat hadits, sebab-sebab yang
memungkinkan seseorang disebut kuat atau lemah. Kritik sanad beratti
juga menjelaskan muttasil dan munqati perawi dalam rangkaian sanad. Mencakup dua hal yaitu tingkat intelektual rawi dan mekanisme isnadul khabar.
Dalam
asfek sanad yang harus diperhatikan dalam kualitas dan kuantitas
sanadnya meliputi: sanadnya bersambung, rawinya adil, dlabit, terhindar
dari syadz dan tidak ber-illah. Kelima asfek tersebut adalah sebagai
sumber adanya kepastian validitas suatu proses transformasi hadits.
Dengan demikian kritik sanad hadits ialah penelitian, penilaian, dan
pelurusan sanad hadits tentang individu perawi dan proses penerimaan
hadits dari guru mereka masing-masing dengan berusaha menemukan
kekeliruan dan kesalahan dalam rangkaian sanad untuk menemukan
kebenaran, yaitu kualitas hadits (sahih, hasan dan dhaif).
Kritik
matan hadits adalah proses lanjutan dari kritik terhadap sanad. Studi
ini merupakan konsekuensi logis yang sulit untuk dihindari. Kedua
metode ini berjalan seirama karena sama-sama membersihkan hadits dari
berbagai kemungkinan yang tidak benar. Kritik sanad bertujuan untuk
melihat validitas dan kapabilitas menyangkut tingkat ketakwaan dan
intelektualitas perawi hadits serta mata rantai periwayatannya,
sedangkan kritik matan bertujuan untuk menyelidiki isi atau materi
hadits.
Kritik
matan dilakukan untuk melihat sejauh mana orsinilitas materi yang
telah dikemukakan. Untuk itu, terdapat langkah-langkah dalam melakukan
kritik terhadap matan. Langkah-langkah itu adalah:
1. Meneliti susunan kalimat yang semakna.
2. Meneliti kandungan matan.
3. meneliti matan mesti diawali dengan melihat kualitas sanad.
d. Syarat-syarat Untuk Menjadi Ulama Jarh dan Ta’dil
1. Beriman, bertaqwa, wara’, berilmu dan jujur.
2. Mengetahui sebab-sebab Jarh dan Ta’dil.
3. Mengetahiu penggunaan Bahasa Arab.
Syarat-syarat itu sangat penting untuk dimiliki oleh setiap ulama yang akan mengikuti dunia Jarh dan Ta’dil,
dan syarat ini yang nampaknya diperlukan agar orang tidak mudah
memberikan penilaian dengan kehendak hatinya atau dapat juga
dimaksudkan untuk menjaga hadits. Artinya, hadits eksistensinya
terlindungi dari hasrat seseorang yang merasa dirugikan, sehingga ia
mencari-cari kelemahan hadits itu dan salah satu di antaranya dengan
kaidah Jarh dan Ta’dil.
e. Kriteria dalam Menentukan Kritik Hadits
Untuk
menghimpun hadits-hadits itu diperlukan kerangka ketelitian yang
sangat tinggi, berupa kerangka ontologis (isi), epistemologis (cara)
dan aksiologis (tujuan) yang akurat, agar yang dinamakan hadits itu
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Langkah awal para ulama dalam
menetapkan kesahihan dan kelemahan suatu hadits adalah menentukan
prinsip-prinsip dasar suatu hadits sebagai cara untuk melakukan
elaborasi terhadap keberadaan hadits. Objek terpenting dalam penelitian
hadits itu terhadap sejumlah periwayat yang mentranspormasikan riwayat
hadits (kualitas sanad) dan materi hadits (kualitas matan).
Maksud
mengevaluasi perawi hadits apakah layak atau tidak untuk ditetapkan
sebagai periwayat shahih secara singkat ada dua syarat untuk perawi
hadits yang ditetapkan oleh ilmu Jarh dan Ta’dil yaitu: Al-’Adalah (keadilan) dan Al-Dlabith. Persoalan selanjutnya adalah apakah evaluasi negatif (Jarh) dan evaluasi positif (Ta’dil) diterima tanpa menjelaskan sebab-sebabnya. Dalam hal ini tampak berbeda di antara ulama Jarh dan Ta’di. Jarh yang tidak beralasan adalah tiap jarh
yang ditujukan kepada seorang rawi hendaklah ada alasannya, dari
perbuatan seorang rawi atau dari jalan lain. Ulama yang menjarh seorang
rawi dengan tidak menyebut alasannya tentu bagi ulama itu
ada alasannya sendiri. Alasan yang menyebabkan ia menjarah seorang
rawi belum tentu menjadi alasan bagi orang lain, karena ada banyak
orang yang menjarh rawi, tetapi sebenarnya apa yang mereka tunjukkan
itu bukan jarh. Jadi jarh yang tidak disebut alasannya belum
dapat diterima dan dianggap untuk melemahkan seorang rawi. Seperti Bakr
bin Amr Abu Sidiq an-Naji: kata Ibnu Hajar: ”Ibnu Sa’ad ada yang
membicarakan bahwa Bakr dengan tidak beralasan
Jarh yang tidak diterangkan sebabnya ialah jarh yang
tidak disebut atau diketahui sebab si rawi itu dianggap lemah, seperti
seorang yang berkata: ”Si anu lemah”, ”Si anu tidak kuat” dan
lain-lain. Menjarh seperti ini tidak diterima karena status
penjarahannya masih gelap.Seperti Abdul Malik bin Shubbah al-Misma’i
al-Bashri: ada orang yang meriwayatkan bahwa Al-Khalili pernah berkata:
”Abdul Malik tertuduh mencuri hadits”. Kata Ibnu Hajar ini adalah satu
jarh yang tidak diterangkan sebabnya. Dikatakan seperti itu karena
al-Khalili tidak menunjukkan jalan tuduhannya.
f.Tingkatan Jarh Wa Ta’dil dan lafad-lafadnya:
Lafadz-lafadz Jarh adlah sebagai berikut:
1. Menilai lunak atau rendah dan hal ini menunjukkan yang paling ringan kejelekannya. Seperti: fulanun layyin al-hadits, fihi tsiqal, fi haditsihi dha’if dan lain-lain.
2. Sesuatu yang ditegaskan dengan tidak ada hujah atau yang menyerupainya seperti: dha’ifun, lhu manakir dan lain-lain.
3. Lafadz yang terng-terangan melarang haditsnya ditulis atau yang lainnya. Seperti: dha’Ifun jiddan, fulanun la yuktabu haditsuhu dan lain-lain.
4. Lafadz yang menunjukkan tuduhan berdusta seperti: laisa bi tsiqqah,yaskuru al-hadits dan lain-lain.
5. Lafadz yang menunjukkan rawi disifati berdusta seperti: fullanun kaddzab, yakdzibu, dan lain sebagainya.
6. Lafadz yang menunjukkan keterlaluan berdusta, seperti: fulanun akdzaba al nass.
Perawi
yang berada pada dua tingkat pertama (no.1 dan 2), sudah tentu tidak
dapat dijadikan hujjah. Hadits mereka ditulis hanya untuk i’tibar. Adapun sisanya, diterima juga tidak ditulis untuk dijadikan i’tibar. Karena hadits ini tidak kuat dan tidak dapat menguatkan hadita lainnya.
Para ulama hadits telah menetapkan lafadz-lafadz ta’dil dalam beberapa martabat, diantaranya:
- Lafadz yang menunjukkan shigat mubalghah (paling puncak) dalam tausik atau atas dasar wajan af’ala yang merupakan shighat paling tinggi.
- Lafadz yang diperkuat dengan satu atau dua sifat dari sifat tsiqat. Seperti: Tsiqatun-tsiqatun, tsiqat-tsabit, tsiqat-hujjah dan lain-lain.
- Lafadz yang menunjukkan pada satu sifat atas tsiqat tanpa ada penjelas. Seperti: tsiqat, hujjah.
- Lafadz yang menunjukkan pada ta’dil tapi tanpa menunjukkan adanya dlabith. Seperti: la ba`sa bihi.
- Lafadz yang menunjukkan pada dekatnya tajrih. Seperti; fulanun syaikhun.